RUPTL PLN Belum Tuntas, Begini Kata Pengamat

Pengamat energi Pri Agung Rahmanto menyoroti Rencana Usaha Penambahan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN yang sejauh ini masih belum diparipurnakan. Menurutnya hal ini masih berpusat pada hal teknis khususnya dalam sinkronisasi dengan target pertumbuhan ekonomi 8% di zaman Presiden Prabowo Subianto.
“Kemungkinan memang ada keterkaitan, yang cenderung bersifat hal-hal teknis terkait target pertumbuhan 8%,” ujar Pri Agung kepada Warta Ekonomi, Senin (19/5/2025).
Ia menjelaskan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tentu menuntut kesiapan pasokan listrik yang memadai.
Baca Juga: Dukung Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, PLN UIP JBT Gaet Ditkrimsus Polda Jabar
“Rule of thumb-nya, pertumbuhan kebutuhan listrik berkisar 1,25 hingga 1,5 kali lipat dari pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Ia melanjutkan, dalam hal ini PLN sebagai motor transisi energi, juga menghadapi tantangan dari sisi keekonomian dalam men-swicthenergi fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Ia mencontohkan pembangkit panas bumi yang meski ramah lingkungan, namun secara total biaya investasi (life cycle cost)masih lebih mahal dibandingkan pembangkit berbasis fosil.
"PLN dalam hal ini, selalu berhadapan dengan keterbatasan itu; di satu sisi mesti menjaga BPP (Biaya Pokok Penyediaan) listri rendah untuk mengurangi subsidi, di sisi lain dihadapkan pada tuntutan untuk menghasilkan listrik dari EBT yg secara keekonomian mayoritas masih lebih mahal dibandingkan fosil,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa dalam draf RUPTL terbaru, pemerintah bersama PLN menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 71 giga watt (GW) hingga 2034. Dari total tersebut, sekitar 70% akan berasal dari pembangkit EBT.
Agung menilai target tersebut hanya dapat dicapai jika disertai dukungan konkret dari sisi dukungan fiskal.
Baca Juga: PLN IP Perkuat Dukungan Kelistrikan untuk Majukan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia
”Bisa dicapai jika ada dukungan fiskal langsung dari pemerintahh. Jadi, aspek keekonomian dan pembiayaan yang paling krusial (di sini),” tegasnya.
Secara lebih spesifik, ia menekankan bahwa jika listrik berbasis EBT yang notabene lebih mahal akan menggantikan energi fosil, maka beban subsidi listrik dipastikan akan meningkat. Pertanyaannya, siapa yang akan menanggung lonjakan selisih biaya tersebut.
” Tantangannya ya itu tadi, ada di kebijakan (subsidi) harga listrik yg masih ada dan siapa yg mesti menanggung selisih/gap keekonomian produksi listrik EBT vs listrik fosil itu,” tutupnya.
相关文章
VIDEO: Intip Kompetisi Kue Rumah Jahe di Stockholm Jelang Natal
Jakarta, CNN Indonesia-- Para desainer roti Swedia berlomba dalam kontes membuat2025-05-19FOTO: Asa Perajin Kala Sake Jadi Warisan Budaya UNESCO
Jakarta, CNN Indonesia-- Sake ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO.2025-05-19Emiten Milik Aguan (ERAA) Berencana Alihkan Saham Treasury Hasil Buyback untuk Program MESOP
Warta Ekonomi, Jakarta - Emiten milik Sugianto Kusuma alias Aguan, PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA)2025-05-19Kejagung Sita 7,7 Kg Emas dalam Kasus Korupsi 109 Ton Emas
JAKARTA, DISWAY.ID- Kejaksaan Agung menyita 7,7 kilogram emas batangan milik para tersangka kasus du2025-05-19Antisipasi Tingginya Animo Pemudik, Terminal Pulo Gebang Siapkan Bus Cadangan
SuaraJakarta.id - Kepala Subbagian Tata Usaha Unit Pengelola Terminal Terpadu Pulo Gebang Junaedi me2025-05-19APBN Utamakan Keputusan Politik, Pengamat Tidak Yakin Pembatasan BBM Bisa Berjalan Efektif
JAKARTA, DISWAY.ID--Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia Luhut Binsar Panjaitan2025-05-19
最新评论